Biografi Pangeran Diponegoro

  • Akhmedi
  • Mar 18, 2020

Ia lahir di Yogyakarta, 11 November 1785. Ia meninggal di pengasingan di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855 pada usia 69 tahun. Dia adalah pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya ada di Makassar. Pangeran Diponegoro adalah putra tertua Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Dilahirkan pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu garwa ampeyan (istri non permaisuri) berasal dari Pacitan. Bendon kecil Diponegoro bernama Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari posisinya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, mengangkatnya menjadi raja. Dia menolak untuk mengingat ibunya bukan permaisuri. Diponegoro memiliki tiga istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, dan Raden Ayu Ratnaningrum.

Pangeran Diponegoro lebih memilih pada kehidupan beragama dan populis sehingga ia lebih suka tinggal di kediaman buyut Tegalrejo dari putrinya, permaisuri HB I Ageng Tegalrejo daripada di istana. Diponegoro menjadi salah satu anggota yang mengiringi perwalian V Hamengkubuwana berusia 3 tahun, sedangkan administrasi sehari-hari dipegang bersama oleh Patih Danurejo warga Belanda. Bagaimana kepercayaan seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Sejarah perjuangan Pangeran DiponegoroPerang Diponegoro dimulai ketika pihak Belanda telah memasuki tanah yang dimiliki Diponegoro di desa Tegalrejo. Pada saat itu, dia sudah muak dengan perilaku Belanda yang tidak menghormati adat istiadat setempat sehingga mengeksploitasi rakyat dengan pajak. Sikap Diponegoro terhadap Belanda secara terbuka, simpati dan dukungan rakyat. Pamannya menyarankan kepada Pangeran Diponegoro untuk menjauh dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua bernama Goa Selarong.  Diponegoro menyatakan perang terhadap Belinda Dan memerangi kedzoliman Belanda. perlawanan yang dihadapi orang kafir. Semangat “perang sabil” mengobarkan pengaruh besar Diponegoro untuk membawa ke wilayah dan Kedu Pacitan. Salah satu tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, bergabung dengan Diponegoro di Goa Selarong. Selama perang ini Belanda kehilangan tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus dilakukan untuk menangkap Diponegoro Belanda. Bahkan kompetisi pun digunakan. Akhirnya Belanda membuat sayambara kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro Akan diberikan hadiah berupa uang. Hingga akhirnya Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Periode Penangkapan dan Penyitaan16 Februari 1830 Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang memasuki wilayah Purworejo).  Tangela 28 Maret 1830 Diponegoro melihat Jenderal de Kock di Magelang. Pejabat Kolonial pun dipaksa untuk mengadakan pembicaraan dan mendesak Diponegoro untuk menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Namun Belanda telah menyiapkan serangan dengan hati-hati. Pada 11 April 1830 ke Batavia dan dipenjara di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Menunggu selesainya Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan keluar. Kemudian Pangeran Diponegoro, keluarga Dan Para pengikutnya dibuang ke Manado. Pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro dan pengikutnya dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar. Pada Tanggal 08 Januari 1855 Diponegoro meninggal dunia dan dimakamkan di Makasar. Dalam perjuangannya, dibantu oleh putranya Pangeran Diponegoro bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan pertempuran di daerah Kulon Progo dan Bagelen.

Ki Bagus Singlon atau Sodewo adalah putra Pangeran Diponegoro bersama Raden Ayu Citrowati Puteri Raden Bupati Ronggo Madiun. Raden Ayu Citrowati adalah saudara dari ayah ibu lain dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Sodewo telah dimasukkan dalam daftar yang dikeluarkan oleh pihak silsilah: Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Perjuangan Ki Sodewo untuk menemani ayahnya didasarkan pada dendam atas kematian kakeknya (Ronggo) dan ibunya ketika Raden Ronggo terpaksa menyerah karena pemberontak melawan Belanda. Pangeran Mataram yang sudah dikuasai Patih Danurejo, maka Raden Ronggo bisa ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga Bupati Madiun kemudian diserahkan ke istana sebagai bukti keberhasilan penggerebekan. Ki Sodewo masih bayi dan kemudian diambil oleh Jack Diponegoro kemudian dititipkan kepada seorang temannya bernama Ki Tembi. Ki Tembi membawanya dan selalu bergerak agar keberadaan mereka tidak ditangkap oleh Belanda. Belanda sendiri pada waktu itu membenci anak Raden Ronggo yang selalu dikenal sebagai penentang Belanda. Kehendak Pangeran Diponegoro, anak itu diberi nama Singlon yang berarti penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak hidup di bekas kantong Ki Sodewo yang pada masa itu berjuang dengan berbagai profesi. Dengan berkah dari para penatua dan digerakkan oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro, Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk asosiasi dengan nama Perkumpulan Breeds Sodewo. Pangeran Diponegoro memiliki 17 putra dan lima putri, sekarang  tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi dan Maluku.

Leave a Reply